Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, hari ini, Senin (22/8/2022), menggelar diskusi publik bertajuk “Mampukah Arsitektur APBN 2023 Menghadapi Gelapnya Ekonomi Dunia?”, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
Lewat forum itu, Fraksi PKB berupaya mengumpulkan masukan berbagai pakar ekonomi untuk menghadapi guncangan ekonomi global yang disebutkan Organisasi Keuangan Dunia (IMF) sebagai kondisi ‘gelap signifikan’.
“Kondisi ekonomi Indonesia berdasarkan sinyal dari IMF sudah menyematkan istilah gelap signifikan. IMF menyampaikan itu, karena sudah melihat kondisi geopolitik yang tidak bisa dihindari, dan itu betul-betul bukan faktor internal, faktor eksternal yang harus dihadapi,” kata Cucun Ahmad Syamsurijal Ketua Fraksi PKB DPR RI dalam pengantarnya.
Menurutnya, pesan yang perlu disampaikan ke publik adalah jangan sampai kondisi yang tidak pasti dimanfaatkan oleh para spekulan.
Karena, masyarakat Indonesia banyak yang menelan mentah-mentah apa yang disampaikan pengamat ekonomi dan juga Anggota DPR. Padahal, itu sangat berbahaya karena ekonomi sifatnya fluktuatif.
“Itu berbahaya sekali. Padahal, yang namanya ekonomi kan fluktuatif. Bisa saja kondisi sekarang, BBM misalkan karena subsidi kita terlalu besar, akan terjadi guncangan ekonomi yang harus disiapkan soft buffer seperti apa nantinya,” imbuh Cucun.
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR itu menegaskan, Pemerintah dan DPR sama-sama bertujuan mewujudkan kesejahteraan Rakyat Indonesia dengan fungsi APBN yaitu distribusi, alokasi dan stabilisasi yang akan dijalankan Pemerintah dengan persetujuan DPR.
Sehingga, masukan-masukan dari para pembicara har ini sangat diperlukan Fraksi PKB dalam mengambil kebijakan di DPR RI.
“Kondisi stagnasi yang disebabkan lonjakan inflasi global dan pelambatan ekonomi sebagai dampak geopolitik, akan terlihat bagaimana para pembicara termasuk arsitek APBN. Kami harapkan diskusi ini menjadi rujukan bagi fraksi PKB untuk membuat kebijakan,” ungkapnya.
Joko Widodo Presiden, lanjut Cucun, beberapa kali menyampaikan peringatan terkait dengan arsitektur anggaran, agar selalu waspada, antisipatif, dan responsif.
Itu semua harus dicatat sebagai pengatur kebijakan di DPR. Juga bagaimana perangkat-perangkat atau pemangku kebijakan menerima informasi.
“Krisis ekonomi 1998 terjadi karena proses informasi yang telat, dan karena informasi para pengambil kebijakan yang menimbulkan kebingungan,” tegasnya.
Di sisi lain, Cucun bersyukur dari tahun 2008 sudah ada alat penyaring informasi untuk mengambil kebijakan dengan lebih cepat. Sehingga, krisis pandemi 2020 bisa cepat ditanggulangi karena sudah banyak alat pemandu para pengambil kebijakan dengan hitungan yang matang.
Lebih lanjut, Cucun mengapresiasi terobosan automatic stabilization atau automatic adjustment yang diambil Pemerintah sebagai instrumen pengendali APBN.
Dia pun mengingatkan konsep yang disampaikan dalam Surat Yusuf dalam Alquran tentang bagaimana menghadapi kekeringan 7 tahun, harus dipersiapkan 7 tahun sekarang ketika ruang fiskalnya agak longgar.
“Jangan ketika kita kaya kita boros, lalu ketika menghadapi masa-masa krisis kita tidak punya buffer stock untuk menghadapinya. Ketika krisis, bantalan social safety net bisa segera diterapkan untuk menggerakkan ekonomi, dan menerapkan countercyclical,” ungkapnya.
Sementara itu, Febrio Nathan Kacaribu Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bilang, kalau IMF mengatakan kondisi ekonomi global akan gelap signifikan,vtidak ada yang segelap awal 2020.
Begitu juga waktu Indonesia menghadapi wabah Virus Corona Varian Delta. Tapi, semua itu bisa dihadapi bersama.
Lebih lanjut, Febrio mengakui tantangan yang akan dihadapi Pemerintah Indonesia bakal bertambah, karena pandeminya belum selesai.
Dia menegaskan, Indonesia sudah punya modal kerja yang kuat yaitu kolaborasi.
“Sebelum terjadinya geopolitik di akhir Februari 2022, Indonesia sudah menghadapi inflasi yang tinggi di banyak dunia. Karena selama dua tahun masyarakat dunia punya tabungan yang banyak. Ketika mulai relaksasi, masyarakat dunia ingin mobile dan ingin bergerak. Tapi, sektor pasokannya tidak bisa menyesuaikan,” paparnya.
Kemudian, lanjut Febrio, kondisi itu diperparah dengan geopolitik dimulainya perang di Ukraina. Konflik itu bukan sesuatu yang bisa dibayangkan selesai dalam waktu jangka pendek.
“Kita harus siap-siap, tapi ini akan menjadi normal baru, antarkubu atau antarpihak belum akan selesai konfliknya dalam jangka pendek,” ucapnya.
Faisal Basri pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia menyampaikan kekhawatirannya dengan pidato Nota Keuangan Jokowi Presiden yang bilang ekonomi Indonesia akan baik-baik saja.
Bahkan, dia mengibaratkan pidato Jokowi seperti tanda-tanda orang mau meninggal dunia.
“Saya udah deg-degan tuh. Kompresensi ini bisa jadi tanda-tanda kita akan menghadapi krisis besar. Kalau orang mau meninggal, dia sadar dulu, memberikan fatwa, waris-waris selesai baru dia meninggalkan dunia,” katanya.
Menurut Faisal, dia akan berdosa kalau tidak menyampaikan perspektif yang lain dari kondisi ekonomi hari ini. Dia menilai pengeluaran paling besar adalah bayar utang yang mencapai Rp3.000 triliun, dan itu bukan tanda keberhasilan.
“Utang Rp 3.000 triliun disebabkan bayar bunganya lebih banyak. Sehingga, selama era Pak Jokowi sampai 2023 buat bayar dari APBN-nya 230,8 persen,” ungkapnya.
Kedua, sambung Faisal, pengeluaran yang meningkat besar yakni belanja barang, ketiga belanja pegawai, dan keempat belanja modal yang naik di era Jokowi mencapai 35,1 persen. Sementara, untuk untuk konsumsi rakyat atau bansos naiknya 51,7 persen.
“Nilainya juga kalau 2023 Rp168,6 triliun, jauh dari subsidi yang mencapai Rp502 sekian triliun itu. Jadi, inilah struktur, arsitektur APBN, belanja pemerintah pusatnya ke mana?” tukas Faisal.(rid/ipg)